Ghuluw artinya melampaui batas. Dikatakan: “ غَلاَ يَغْلُو غُلُوًّا ,” jika ia melampaui batas dalam ukuran. Allah berfirman: لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ Jangan terlalu ekstrem dalam agama Anda
“Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu.” [An-Nisaa’/4: 171]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِيَّاكُمْ
وَالْغُلُوَّ
فِي
الدِّيْنِ، فَإِنَّمَا
أَهْلَكَ
مَنْ كَانَ
قَبْلَكُمْ
اَلْغُلُوُّ
فِي الدِّيْنِ.
“Jauhkanlah diri kalian dari ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama, karena
sesungguhnya sikap ghuluw ini telah membinasakan orang-orang sebelum
kalian.”[1]
Salah satu sebab yang membuat seseorang menjadi kufur adalah sikap ghuluw
dalam beragama, baik kepada orang shalih atau dianggap wali, maupun ghuluw
kepada kuburan para wali, hingga mereka minta dan berdo’a kepadanya padahal ini
adalah perbuatan syirik akbar.
Sedangkan ithra’ artinya melampaui batas (berlebih-lebihan) dalam memuji
serta berbohong karenanya. Dan yang dimaksud dengan ghuluw dalam hak Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah melampaui batas dalam menyanjungnya,
sehingga mengangkatnya di atas derajatnya sebagai hamba dan Rasul (utusan)
Allah, menisbatkan kepadanya sebagian dari sifat-sifat Ilahiyyah. Hal itu
misalnya dengan memohon dan meminta pertolongan kepada beliau, tawassul dengan
beliau, atau tawassul dengan kedudukan dan kehormatan beliau, bersumpah dengan
nama beliau, sebagai bentuk ‘ubudiyyah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala,
perbuatan ini adalah syirik.
Dan yang dimaksud dengan ithra’ dalam hak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah berlebih-lebihan dalam memujinya, padahal beliau telah melarang
hal tersebut melalui sabda beliau:
لاَ
تُطْرُوْنِي
كَمَا
أَطْرَتِ النَّصَارَى
ابْنَ
مَرْيَمَ،
فَإِنَّمَا
أَنَا
عَبْدُهُ،
فَقُوْلُوْا
عَبْدُ اللهِ
وَرَسُوْلُهُ.
“Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagai-mana orang-orang
Nasrani telah berlebih-lebihan memuji ‘Isa putera Maryam. Aku hanyalah
hamba-Nya, maka kata-kanlah, ‘‘Abdullaah wa Rasuuluhu (hamba Allah dan
Rasul-Nya).’”[2]
Dengan kata lain, janganlah kalian memujiku secara bathil dan janganlah
kalian berlebih-lebihan dalam memujiku. Hal itu sebagaimana yang telah
dilakukan oleh orang-orang Nasrani terhadap ‘Isa Alaihissallam, sehingga mereka
menganggapnya memiliki sifat Ilahiyyah. Karenanya, sifatilah aku sebagaimana
Rabb-ku memberi sifat kepadaku, maka katakanlah: “Hamba Allah dan Rasul
(utusan)-Nya.”[3]
‘Abdullah bin asy-Syikhkhir Radhiyallahu anhu berkata, “Ketika aku pergi
bersama delegasi Bani ‘Amir untuk menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, kami berkata kepada beliau, “Engkau adalah sayyid (penguasa) kami!”
Spontan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
Baca Juga Cinta Rasulullah Dan Perayaan Maulid
اَلسَّيِّدُ
اللهُ
تَبَارَكَ
وَتَعَالَى.
“Sayyid (penguasa) kita
adalah Allah Tabaaraka wa Ta’aala!”
Lalu kami berkata, “Dan engkau adalah orang yang paling utama dan paling
agung kebaikannya.” Serta merta beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengatakan:
قُوْلُوْا
بِقَوْلِكُمْ
أَو بَعْضِ
قَوْلِكُمْ
وَلاَ
يَسْتَجْرِيَنَّكُمُ
الشَّيْطَانُ.
“Katakanlah sesuai dengan apa yang biasa (wajar) kalian katakan, atau
seperti sebagian ucapan kalian dan janganlah sampai kalian terseret oleh
syaithan.”[4]
Anas bin Malik Radhiyallahu anhu berkata, “Sebagian orang berkata kepada
beliau, ‘Wahai Rasulullah, wahai orang yang terbaik di antara kami dan putera
orang yang terbaik di antara kami! Wahai sayyid kami dan putera sayyid kami!’
Maka seketika itu juga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَا
أَيُّهَا
النَّاسُ
قُوْلُوْا
بِقَوْلِكُمْ
وَلاَ
يَسْتَهْوِيَنَّكُمُ
الشَّيْطَانُ،
أَنَا
مُحَمَّدٌ،
عَبْدُ اللهِ
وَرَسُوْلُهُ،
مَا أُحِبُّ
أَنْ
تَرْفَعُوْنِيْ
فَوْقَ
مَنْزِلَتِي
الَّتِيْ
أَنْزَلَنِيَ
اللهُ عَزَّ
وَجَلَّ.
“Wahai manusia, ucapkanlah dengan yang biasa (wajar) kalian ucapkan! Jangan
kalian terbujuk oleh syaithan, aku (tidak lebih) adalah Muhammad, hamba Allah
dan Rasul-Nya. Aku tidak suka kalian mengangkat (menyanjung)ku di atas (melebihi)
kedudukan yang telah Allah berikan kepadaku.”[5]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci jika orang-orang memujinya
dengan berbagai ungkapan seperti: “Engkau adalah sayyidku, engkau adalah orang
yang terbaik di antara kami, engkau adalah orang yang paling utama di antara
kami, engkau adalah orang yang paling agung di antara kami.” Padahal
sesungguhnya beliau adalah makhluk yang paling utama dan paling mulia secara
mutlak. Meskipun demikian, beliau melarang mereka agar menjauhkan mereka dari sikap
melampaui batas dan berlebih-lebihan dalam menyanjung hak beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam, juga untuk menjaga kemurnian tauhid. Selanjutnya beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengarahkan mereka agar menyifati beliau dengan
dua sifat yang merupakan derajat paling tinggi bagi hamba yang di dalamnya
tidak ada ghuluw serta tidak membahayakan ‘aqidah. Dua sifat itu adalah
‘Abdullaah wa Rasuuluh (hamba dan utusan Allah).
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka disanjung melebihi dari apa
yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan dan Allah ridhai. Tetapi banyak manusia
yang melanggar larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut, sehingga
mereka berdo’a kepadanya, meminta pertolongan kepadanya, bersumpah dengan
namanya serta meminta kepadanya sesuatu yang tidak boleh diminta kecuali kepada
Allah. Hal itu sebagaimana yang mereka lakukan ketika peringatan maulid Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam kasidah atau anasyid, di mana mereka tidak
membedakan antara hak Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan hak Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Baca Juga Pentingnya Mencintai dan Kedudukan Ahlul Bait
Al-‘Allamah Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah dalam kasidah
nuniyyah-nya berkata:
اللهِ
حَقٌّ لاَ
يَكُوْنُ
لِغَيْرِهِ
وَلِعَبْدِهِ
حَقٌّ هُمَا
حَقَّانِ لاَ
تَجْعَلُوا
الْحَقَّيْنِ
حَقًّا
وَاحِدًا
مِنْ غَيْرِ
تَمْيِيْزٍ وَلاَ
فُرْقَانِ
“Allah memiliki hak yang tidak dimiliki selain-Nya, bagi hamba pun ada hak,
dan ia adalah dua hak yang berbeda. Jangan kalian jadikan dua hak itu menjadi
satu hak,
tanpa memisahkan dan tanpa membedakannya.”[6]
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid
bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC
13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
Footnote
[1] HR. Ahmad (I/215, 347), an-Nasa-i (V/268), Ibnu Majah (no. 3029), Ibnu
Khu-zaimah (no. 2867) dan lainnya, dari Sahabat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu
anhuma. Sanad hadits ini shahih menurut syarat Muslim. Dishahihkan oleh Imam
an-Nawawi dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
[2] HR. Al-Bukhari (no. 3445), at-Tirmidzi dalam Mukhtasharusy Syamaa-il
al-Mu-hammadiyyah (no. 284), Ahmad (I/23, 24, 47, 55), ad-Darimi (II/320) dan
yang lainnya, dari Sahabat ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu.
[3] ‘Aqiidatut Tauhiid (hal 151).
[4] HR. Abu Dawud (no 4806), Ahmad (IV/24, 25), al-Bukhari dalam al-Adabul
Mufrad (no 211/ Shahiihul Adabil Mufrad no 155), an-Nasai dalam ‘Amalul Yaum
wal Lailah (no. 247, 249). Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata:
“Rawi-rawi-nya shahih. Dishahihkan oleh para ulama (ahli hadits).” (Fat-hul
Baari V/179).
[5] HR. Ahmad (III/153, 241, 249), an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah
(no. 249, 250) dan al-Lalika-i dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal
Jamaa’ah (no. 2675). Sanadnya shahih dari Sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu
anhu.
[6] Aqiidatut Tauhiid (hal. 152) oleh Syaikh Shalih bin Fauzan bin
‘Abdillah al-Fauzan
Disalin dari Sumber: almanhaj.or.id
Penulis; Rachmat.Flimban
Posting Komentar
Luangkan waktu untuk memberikan Saran atau masukkan atau komentar Anda! Semoga Artikel-artikel yang kami publikasihkan dapat bermanfaat.........
Berkomentarlah dengan bijak dan sopan, marilah kita budayakan bertutur kata yang baik dan saling menghormati, mohon maaf bila komentar anda tidak memenuhi kriteria tersebut akan di hapus. Bila anda ingin memberikan saran, kritik,masukan yang membangun, dan memberi tambahan materi bila ada kekurangan pada artikel yang sedang di bahas dengan senang hati , saya persilahkan. Terimakasih.