Latest Post

ALAM JIN: Pengingkaran Terhadap Keberadaan Jin, Serial2

Written By Rachmat.M.Flimban on Selasa, April 09, 2024 | Selasa, April 09, 2024

SERIAL 2 ALAM JIN
  
Muslim.Or.Id kembali melanjutkan pembahasan alam jin. Sebagian orang ada yang mengingkari keberadaan jin dengan berbagai alasan yang mengada-ngada. Bahkan sebagian orang musyrik menyatakan bahwa yang dimaksud jin adalah arwah-arwah bintang. Demikian yang disebutkan dalam Majmu’ Al Fatawa, 24: 280.

Sedangkan golongan falasifah (ahli filsafat) berpendapat bahwa jin hanyalah keinginan jelek di hati manusia, sedangkan malaikat adalah keinginan baik. Demikian disebutkan dalam Majmu’ Al Fatawa, 4: 346.

Ada pula peneliti kontemporer yang menganggap bahwa jin hanyalah mikroba yang sudah ditemukan dalam penelitian mutakhir. Dan juga ada pendapat dari Dr. Muhammad Al Bahi yang menyatakan bahwa jin itu sama dengan malaikat, keduanya dianggap berada dalam satu alam.

Tidak Tahu Tidak Bisa Menjadi Dalil Akan Tidak Adanya Sesuatu

Para pengingkar jin ini asalnya beralasan dengan ketidaktahuan mereka akan wujud jin. Padahal tidak adanya ilmu tidak bisa menjadi dalil akan tidak adanya sesuatu. Allah Ta’ala katakan terhadap orang-orang semacam ini, 

بَلْ كَذَّبُوا بِمَا لَمْ يُحِيطُوا بِعِلْمِهِ 

“Bahkan yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya dengan sempurna” (QS. Yunus: 39). 

Begitu pula manusia sebenarnya hanya diberikan ilmu yang sedikit. Allah Ta’ala berfirman, 

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا 

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Rabb-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”.” (QS. Al Isra’: 85). 
Jadi tidak seenak kita menentukan sesuatu itu ada atau tidak dan bagaimana gambarannya terkhusus untuk masalah alam ghaib yang kita tidak tahu.

Dalil yang Menunjukkan Adanya Jin

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Tidak ada satu pun yang mengingkari keberadaan jin dari kaum muslimin. Tidak ada yang mengingkari pula bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus pada kalangan jin. 
Dan mayoritas orang kafir pun menetapkan adanya jin. Adapun orang Yahudi dan Nashrani, mereka mengakui adanya jin sebagaimana kaum muslimin. Jika ada dari kalangan ahli kitab tersebut yang mengingkari keberadaan jin, maka sama halnya dengan sebagian kaum muslimin seperti Jahmiyah dan Mu’tazilah. Akan tetapi mayoritas kaum muslimin mengakui adanya jin. 

Pengakuan seperti ini dikarenakan keberadaan jin itu secara mutawatir dari berita yang datang dari para nabi. Bahkan keyakinan terhadap jin sudah ma’lum bidh dhoruroh yaitu tidak mungkin seseorang tidak mengetahui perkara tersebut[1].” (Majmu’ Al Fatawa, 19: 10). 

Di tempat lain, Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Seluruh kelompok kaum muslimin mengakui keberadaan jin sebagaimana pula mayoritas kaum kafir dan sebagian besar ahli kitab, begitu pula kebanyakan orang musyrik Arab dan selain mereka dari keturunan Al Hadzil, Al Hind dan selain mereka yang merupakan keturunan Haam, begitu pula mayoritas penduduk Kan’an dan Yunan yang merupakan keturunan Yafits. Jadi mayoritas manusia mengakui adanya jin.” (Majmu’ Al Fatawa, 19: 13).
 
Beberapa dalil pendukung dari Al Qur’an,

قُلْ أُوحِيَ إِلَيَّ أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِنَ الْجِنِّ فَقَالُوا إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآَنًا عَجَبًا 

“Katakanlah (hai Muhammad): “Telah diwahyukan kepadamu bahwasanya: telah mendengarkan sekumpulan jin (akan Al Quran), lalu mereka berkata: Sesungguhnya kami telah mendengarkan Al Quran yang menakjubkan.” (QS. Al Jin: 1). 
Begitu pula dalam ayat dalam surat yang sama, 

وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الْإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا 

“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (QS. Al Jin: 6). 
Juga dalam ayat dalam surat lainnya, 

وَإِذْ صَرَفْنَا إِلَيْكَ نَفَرًا مِنَ الْجِنِّ يَسْتَمِعُونَ الْقُرْآَنَ فَلَمَّا حَضَرُوهُ قَالُوا أَنْصِتُوا فَلَمَّا قُضِيَ وَلَّوْا إِلَى قَوْمِهِمْ مُنْذِرِينَ 

“Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Al Quran, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan (nya) lalu mereka berkata: “Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)”. Ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan.” (QS. Al Ahqaf: 29). 

Dan masih banyak dalil lainnya dalam Al Qur’an yang menyebutkan keberadaan jin. Di samping itu banyak pula yang menyaksikan dan mendengar keberadaan jin. Namun yang menyaksikan tidak tahu kalau itu jin. Mereka mengklaim itu adalah arwah atau makhluk ghaib. Sebagai bukti pula bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berbicara dengan kalangan jin, mengajari mereka, dan membacakan Al Qur’an untuk mereka. 

Adapun yang menyatakan bahwa jin itu satu alam dengan malaikat, maka itu keliru. Karena alam kedua golongan tersebut berbeda. Malaikat tidak makan dan tidak minum, serta tidak durhaka pada perintah Allah dan hanya melakukan yang diperintahkan. Sedangkan jin itu ada yang pendusta, jin pun makan dan minum, dan durhaka pada perintah Allah. 

Referensi: 

‘Alamul Jin wasy Syaithon, Syaikh Prof. Dr. ‘Umar bin Sulaiman bin ‘Abdullah Al Asyqor, terbitan Darun Nafais, cetakan kelimabelas, tahun 1423 H. 
— 
@ Pesantren Darush Sholihin, Panggang-Gunungkidul, 5 Jumadal Ula 1434 H 

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal 
Sumber Artikel Muslim.Or.Id
Penulis : Rachmat.M

[1] Al ma’lum minad diin bid dhoruroh bisa berarti: 
1- Mujma’ ‘alaih (sesuatu yang disepakati), contoh wajibnya shalat lima waktu 
2- Laa yasa’u ahadan jahluhu, tidak mungkin seseorang tidak mengetahui perkara tersebut 
3-Ushul wa qowa’id al islam, pokok dan landasan agama seperti rukun Islam yang lima 
(Penjelasan Syaikh ‘Ali bin ‘Abdul ‘Aziz Asy Syibl dalam kajian Al Qowa’idul Arba’) 

Tags: ALAM JIN INGKAR JANJIN

Sumber: https://muslim.or.id/12704-serial-2-alam-jin-pengingkaran-terhadap-keberadaan-jin.htmlCopyright © 2024 muslim.or.id
Klik Print di bawah untuk cetak
Mohon maaf jika ada kekeliruan.

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Untaian 23 Faedah Seputar Tauhid dan Akidah (Bag. 1)

Written By Rachmat.M.Flimban on Senin, April 08, 2024 | Senin, April 08, 2024


Untaian 23 Faedah Seputar Tauhid dan Akidah (Bag. 1)

Faedah 1: Asas kekuatan iman

Sebagaimana telah diketahui bahwa dua kalimat syahadat merupakan pondasi utama dalam agama Islam. Syahadat laailaha illallah mengandung penetapan bahwa Allah adalah satu-satunya sesembahan yang benar dan menolak segala bentuk ibadah kepada selain-Nya. Adapun syahadat anna muhammadar rasulullah mengandung keyakinan bahwa tidak ada jalan yang benar dalam beribadah kepada Allah, kecuali melalui petunjuk dan bimbingan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Dalam syahadat yang pertama atau kalimat tauhid, terdapat tujuan penciptaan jin dan manusia. Allah berfirman,

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِیَعۡبُدُونِ

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Para ulama menafsirkan bahwa beribadah kepada Allah artinya adalah bertauhid. Inilah hak Allah atas segenap hamba.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

فإنَّ حقَّ الله على العباد أن يعبدوه ولا يُشركوا به شيئًا

“Hak Allah atas para hamba adalah hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dengan demikian, tauhid merupakan keadilan tertinggi yang wajib ditegakkan di atas muka bumi. Adapun syirik merupakan bentuk kezaliman yang paling besar yang harus diberantas.

Allah berfirman,

وَلَقَدۡ بَعَثۡنَا فِی كُلِّ أُمَّةࣲ رَّسُولًا أَنِ ٱعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَٱجۡتَنِبُوا۟ ٱلطَّـٰغُوتَۖ

“Dan sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan, ‘Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.’” (QS. An-Nahl: 36)

Imam Malik rahimahullah menjelaskan bahwa thaghut itu mencakup segala bentuk sesembahan selain Allah.

Ibadah kepada Allah merupakan ketundukan dan perendahan diri yang dilandasi dengan kecintaan dan pengagungan. Ibadah kepada Allah digerakkan oleh harapan dan rasa takut. Harapan kepada Allah dan ampunan-Nya yang membuahkan amal saleh dan istigfar. Rasa takut kepada Allah dan siksa-Nya yang menumbuhkan ketaatan dan bertobat dari dosa dan maksiat.

Ibadah kepada Allah dibangun di atas iman kepada rububiyah-Nya. Karena hanya Allah pencipta dan pengatur alam semesta ini, maka hanya Allah yang berhak disembah. Allah berfirman,

یَـٰۤأَیُّهَا ٱلنَّاسُ ٱعۡبُدُوا۟ رَبَّكُمُ ٱلَّذِی خَلَقَكُمۡ وَٱلَّذِینَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ

“Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian; Yang menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 21)

Ibadah kepada Allah terwujud dengan mengikuti panduan wahyu dan ajaran Rasul-Nya. Allah berfirman,

مَّن یُطِعِ ٱلرَّسُولَ فَقَدۡ أَطَاعَ ٱللَّهَۖ

“Dan barangsiapa yang menaati rasul itu, maka sesungguhnya dia telah menaati Allah.” (QS. An-Nisa’: 80)

Allah juga berfirman,

وَمَا یَنطِقُ عَنِ ٱلۡهَوَىٰۤ

“Dan tidaklah dia (Muhammad) itu berbicara dari hawa nafsunya. Tidaklah yang ia sampaikan itu, melainkan wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS. An-Najm: 3-4)

Oleh sebab itu, seorang muslim menundukkan dirinya, pasrah kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya dan berlepas diri dari syirik dan pelakunya. Allah berfirman,

وَلَقَدۡ أُوحِیَ إِلَیۡكَ وَإِلَى ٱلَّذِینَ مِن قَبۡلِكَ لَىِٕنۡ أَشۡرَكۡتَ لَیَحۡبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡخَـٰسِرِینَ

“Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelum kamu. Jika kamu berbuat syirik, pasti akan lenyap seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar: 65)

Iman kepada Allah bukan sekedar pengakuan di lisan atau pun keyakinan di dalam hati. Lebih daripada itu, iman itu juga mengandung amalan dan ketegasan sikap terhadap kekafiran. Allah berfirman,

فَمَن یَكۡفُرۡ بِٱلطَّـٰغُوتِ وَیُؤۡمِنۢ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسۡتَمۡسَكَ بِٱلۡعُرۡوَةِ ٱلۡوُثۡقَىٰ لَا ٱنفِصَامَ لَهَاۗ l

“Maka, barangsiapa yang kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sungguh dia telah berpegang teguh dengan buhul tali yang paling kuat dan tidak terlepas.” (QS. Al-Baqarah: 256)

Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata, “Bukanlah iman itu dengan berangan-angan atau memperindah penampilan. Akan tetapi, iman adalah apa-apa yang bersemayam di dalam hati dan dibuktikan dengan amalan-amalan.”

Allah berfirman,

وَ ٰ⁠حِدࣱۖ فَمَن كَانَ یَرۡجُوا۟ لِقَاۤءَ رَبِّهِۦ فَلۡیَعۡمَلۡ عَمَلࣰا صَـٰلِحࣰا وَلَا یُشۡرِكۡ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦۤ أَحَدَۢا

“Maka, barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal saleh dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (QS. Al-Kahfi: 110)

Baca juga: Faedah dari Hadis Pengutusan Mu’adz ke Negeri Yaman

Faedah 2: Khauf dan raja’

Di antara perkara yang sangat kita butuhkan pada masa seperti sekarang ini adalah keberadaan akidah khauf dan raja’ di dalam hati. Para ulama menggambarkan bahwa seyogyanya seorang mukmin hidup di alam dunia ini seperti seekor burung dengan dua belah sayap dan kepalanya.

Adapun kedua belah sayap itu ibarat dari khauf dan raja’. Khauf yaitu rasa takut kepada Allah, takut terhadap hukuman dan azab-Nya. Raja’ yaitu harapan kepada Allah dan pahala dari-Nya. Sementara yang menjadi kepalanya adalah mahabbah/rasa cinta, yaitu cinta kepada Allah dan apa-apa yang Allah cintai. Dengan ketiga unsur inilah seorang muslim membangun amal dan ketaatannya kepada Allah.

Allah berfirman,

نَبِّئْ عِبَادِي أَنِّي أَنَا الْغَفُورُ الرَّحِيمُ ، وَأَنَّ عَذَابِي هُوَ الْعَذَابُ الْأَلِيمُ

“Beritakanlah kepada hamba-hamba-Ku bahwa Akulah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan sesungguhnya azab-Ku adalah azab yang sangat pedih.” (QS. Al-Hijr: 49-50)

Syekh Muhammad bin Abdullah As-Subayyil rahimahullah (wafat 1434 H) mengatakan,

ولذا ينبغي على المؤمن أن يعيش في هذه الدنيا كالطائر الذي له جناحان ورأس ، أما الجناحان : فالخوف والرجاء ، وأما الرأس فالمحبة

“Oleh sebab itu, semestinya seorang mukmin hidup di alam dunia ini seperti seekor burung yang memiliki dua belah sayap dan sebuah kepala. Adapun kedua sayap itu adalah takut dan harapan, sedangkan yang menjadi kepalanya adalah kecintaan.” (lihat Fatawa Al-‘Aqidah dalam website resmi beliau. Link artikel: https://alsubail.af.org.sa/ar/node/210)

Di antara buah dan manfaat dari khauf adalah segera bertobat kepada Allah dari dosa dan maksiat kemudian berusaha menjauhi perbuatan dosa. Sementara buah dari raja’ adalah tidak berputus asa dari rahmat Allah. Adapun kecintaan merupakan penggerak utama dalam melakukan berbagai amal kebaikan. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat, bahwa hati-hati manusia itu tercipta dalam keadaan mencintai Zat Yang berbuat baik kepadanya.

Takwa kepada Allah juga ditegakkan di atas pilar khauf dan raja’ Oleh sebab itu, Thalq bin Habib rahimahullah berkata, “Takwa adalah kamu melakukan ketaatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah karena mengharapkan pahala dari Allah, dan kamu meninggalkan maksiat kepada Allah di atas cahaya dari Allah karena takut hukuman Allah.” (Disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Risalah Tabukiyah)

Sementara ibadah kepada Allah adalah ketaatan yang dilandasi dengan puncak perendahan diri yang disertai dengan puncak kecintaan. Ketaatan kepada Allah itu lahir dari kecintaan kepada-Nya. Sebagaimana ungkapan orang arab ‘Innal muhibba liman yuhibbu muthii’u.‘ (Orang yang mencintai, maka dia akan patuh kepada siapa yang dia cintai/kekasihnya itu.)

Seorang mukmin menyandarkan hatinya kepada Allah, karena hanya Allah Zat yang menguasai alam semesta. Dia berharap kepada Allah dan pahala dari-Nya. Dia pun mengharapkan curahan rahmat-Nya. Dia pun takut kepada Allah dan hukuman-Nya. Dia takut menyelisihi dan menyimpang dari petunjuk-Nya.

Oleh sebab itu, apabila dia terjerumus dalam dosa, dia pun segera kembali dan bertobat. Dia beramal saleh, tetapi dia juga khawatir apabila amalnya tidak diterima oleh Rabbnya. Dia tidak melihat Rabbnya, kecuali sebagai Zat yang senantiasa berbuat ihsan (kebaikan) dan terus melimpahkan kenikmatan. Dan dia tidaklah melihat dirinya sendiri, kecuali penuh dengan berbagai kekurangan dan kesalahan.

Oleh sebab itu pula, para ulama salaf menggambarkan bahwa orang beriman itu memendam rasa takut kalau-kalau dirinya terjangkiti kemunafikan. Selain itu, dia juga khawatir apabila Allah tidak menerima amalnya karena sedikitnya kualitas penghambaan dan jeleknya ketaatan yang dia persembahkan. Sebaliknya, orang munafik tenggelam dalam perasaan aman dari penyakit kekafiran.

Harapan yang ada pada kaum beriman membuahkan amal dan keikhlasan dalam beribadah. Sementara angan-angan yang ada pada kaum munafik menghasilkan kemalasan dan riya’ dalam beramal. Rasa takut pada ahli tauhid membuat dirinya khawatir terseret dalam arus kemusyrikan, sebagaimana takutnya Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang berdoa kepada Allah agar dijauhkan dari menyembah berhala.

Adapun kaum munafik dan orang yang lemah imannya, rasa takutnya kepada gangguan dan celaan manusia membuat mereka meninggalkan jalan ketaatan dan perjuangan demi mengejar serpihan kesenangan dunia.

Baca juga: Beberapa Faedah dari Hadis-Hadis yang Berisi Anjuran Ziarah Kubur

Faedah 3. Rasa takut kepada Allah

Allah berfirman,

إِنَّمَا ذَٰلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Sesungguhnya itu adalah setan yang berusaha menakut-nakuti kalian dengan wali-wali-Nya, maka janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku jika kalian benar-benar beriman.” (QS. Ali ‘Imran: 175)

Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah menjelaskan di dalam tafsirnya bahwa maksud ayat ini adalah setan berusaha menakut-nakuti orang beriman dengan wali-walinya. Ini tafsiran dari Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma. Mujahid juga mengatakan,

يخوّف المؤمنين بالكفار

“Yaitu, setan berusaha menakut-nakuti kaum beriman dengan perantara orang-orang kafir.” (lihat Tafsir Ath-Thabari surah Ali ‘Imran ayat 175)

Ayat yang agung ini dibawakan oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam Kitab Tauhid-nya.

Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan,

أراد المؤلف بهذه الترجمة بيان وجوب خوف الله تعالى، وأن الواجب على العبد أن يخاف ربه خوفا يحمله على إخلاص العبادة له سبحانه، ويحمله على أداء ما فرض عليه، ويحمله عن الكف عما حرم الله عليه، ويحمله على الوقوف عند حدوده

“Penulis bermaksud dengan bab ini untuk menjelaskan wajibnya takut kepada Allah dan wajib bagi seorang hamba untuk merasa takut kepada Rabbnya yang mendorongnya untuk memurnikan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan membuatnya tunduk patuh melaksanakan apa-apa yang diwajibkan kepadanya serta menahan diri dari segala hal yang diharamkan Allah, dan juga membuatnya berhenti mengikuti batasan dan ketentuan-ketentuan dari Allah.” (lihat Syarh Kitab Tauhid Syaikh Bin Baz)

Lanjut ke bagian 2: Untaian 23 Faedah Seputar Tauhid dan Akidah (Bag. 2)

***

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

Disalin dari Sumber; Artikel: Muslim.or.id Penulis, Ari Wahyudi,S.Si

Penulis Salinan; Rachmat.M

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

Alam Jin :Serial 3 Setan dan Iblis Bukan Malaikat.

Written By Rachmat.M.Flimban on Minggu, April 07, 2024 | Minggu, April 07, 2024

 

Serial 3 Alam Jin: Setan dan Iblis Bukan

Malaikat

Daftar Isi

  1. Setan dan Namanya

  2. Apakah Setan Aslinya dari Jin?

Setan banyak dibicarakan dalam Al Qur’an dan ia termasuk bagian dari alam jin. Saat awal penciptaan, ia taat pada perintah Allah dan ia menghuni langit bersama para malaikat, bahkan ia berada di surga. Kemudian ia durhaka pada Rabbnya ketika ia diperintah sujud pada Adam, ia sombong sehingga ia pun terusir.

  1. Setan dan Namanya

Setan dalam bahasa Arab berarti sombong atau congkak. Ia disebut demikian karena kecongkakan dia di hadapan Rabbnya. Ia pun disebut thoghut sebagaimana terdapat dalam ayat,

الَّذِينَ آَمَنُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ الطَّاغُوتِ فَقَاتِلُوا أَوْلِيَاءَ 

الشَّيْطَانِ إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا

“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu, karena sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah.” (QS. An Nisaa’: 76). Setan disebut thoghut karena ia telah melampaui batas dengan kesombongan dan kecongkakan di hadapan Rabbnya, serta ia rela disembah oleh makhluk lainnya.

Setan juga termasuk makhluk yang putus asa dari rahmat Allah. Oleh karenanya ia dinamakan pula iblis. Iblis dalam bahasa Arab berarti tidak memiliki kebaikan apa-apa dan artinya berputus asa.

Jika kita menelaah Al Qur’an dan hadits, kita akan tahu bahwa setan adalah makhluk berakal, punya keinginan dan bergerak, bukan seperti anggapan sebagian orang yang menyatakan sebagai ruh jelek saja.

Sebagaimana telah disebutkan bahwa setan adalah bagian dari jin. Namun perkara ini terus jadi perselisihan sejak masa silam hingga saat ini. Dalil yang jadi pegangan adalah firman Allah Ta’ala,

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآَدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ

Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (QS. Al Baqarah: 34). Ayat ini dan semisalnya menunjukkan bahwa Allah mengecualikan iblis dari para malaikat, sekaligus menunjukkan bahwa keduanya sejenis.

Dalam kitab tafsir dan tarikh telah dinukil berbagai pendapat ulama yang menunjukkan bahwa iblis dulunya adalah bagian dari malaikat. Namun sebenarnya yang tepat adalah bahwa pengecualian yang disebutkan di atas tidak menunjukkan bahwa iblis dan malaikat secara tegas itu sejenis. Karena ada kemungkinan istitsna (pengecualian) dalam ayat itu terputus dan menunjukkan berbeda jenis. Bahkan inilah yang benar dan dibuktikan dalam ayat lain,

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآَدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ

Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Dia adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Rabbnya.” (QS. Al Kahfi: 50).

Dan kita juga punya dalil pendukung yang shahih bahwa jin bukanlah malaikat dan bukan manusia sebagaimana dalam hadits,

خُلِقَتِ الْمَلاَئِكَةُ مِنْ نُورٍ وَخُلِقَ الْجَانُّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ وَخُلِقَ آدَمُ مِمَّا وُصِفَ لَكُمْ

Apakah setan aslinya dari jin atau satu golongan dengan jin, maka tidak ada dalil tegas yang mendukung hal ini. Namun yang nampak lebih kuat adalah setan itu satu golongan dengan jin sebagaimana disebutkan dalam ayat,

إِلَّا إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ

Dia adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Rabbnya.” (QS. Al Kahfi: 50).

Adapun Ibnu Taimiyah rahimahullah berpendapat bahwa setan aslinya dari jin sebagaimana Adam adalah asal dari manusia.

Demikian sedikit penjelasan tentang setan dan pembahasan lanjutan akan ditindaklanjuti berikutnya dengan berharap kemudahan dari Allah.

  Hanya Allah yang memberi taufik dan kemudahan.

 Referensi:

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

. demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun[1587]

Written By Rachmat.M.Flimban on Kamis, April 04, 2024 | Kamis, April 04, 2024


بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ 

 وَالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ (١)

1. demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun[1587],

[1587] Yang dimaksud dengan Tin oleh sebagian ahli tafsir ialah tempat tinggal Nabi Nuh, Yaitu Damaskus yang banyak pohon Tin; dan zaitun ialah Baitul Maqdis yang banyak tumbuh Zaitun.



وَطُورِ سِينِينَ (٢)

2. dan demi bukit Sinai[1588],

 [1588] Bukit Sinai Yaitu tempat Nabi Musa a.s. menerima wahyu dari Tuhannya.



وَهَذَا الْبَلَدِ الأمِينِ (٣)

3. dan demi kota (Mekah) ini yang aman,




لَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ (٤)

4. Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya .


ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ (٥)

5. kemudian Kami kembalikan Dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka),


إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ (٦)

6. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.


فَمَا يُكَذِّبُكَ بَعْدُ بِالدِّينِ (٧)

7. Maka Apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu?


 أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ (٨)

8. Bukankah Allah hakim yang seadil-adilnya?


 

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

ALAM JIN SERIAL 2

Written By Rachmat.M.Flimban on Minggu, Maret 31, 2024 | Minggu, Maret 31, 2024

 

Serial 2 Alam Jin

Pengingkaran Terhadap Keberadaan Jin

Muhammad Abduh Tuasikal, MSc. oleh Muhammad Abduh Tuasikal, MSc.

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

 
Support : Blog author | Rachmat.M,MA | Duta Asri Palem 3
Copyright © 2013. PERUM DUTA ASRI PALEM3 - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger